Minggu, November 09, 2014

Paradoks Antara Jilbab dan Perbuatan Baik

credit here


Bahwa jilbab dan perbuatan bukan dua hal yang saling berkolerasi. Kebaikan dilakukan oleh siapapun tetap kebaikan. Begitu pula keburukan, dilakukan oleh orang yang berjilbab selebar apapun, tetap saja keburukan, tidak berubah nilainya. Tidak berbeda maknanya.

Saya dulu, duluuu sekali pernah menulis tentang ini. Kalau tertarik silahkan ‘nyekrol’ catatan saya di facebook ini. Saya lupa catatan keberapa (baca: males nyekrolin hehehe). Dulu alasannya gegara ada yang main pukul rata, bahwa cewek yang jilbabnya gedhe tuh berasa jadi hina banget kalau sedikit saja melakukan kesalahan. Saya sewot waktu itu. Enak aja main ngomong begono. Sebagai pelaku #ups, saya meradang. Bagaimanapun saya (mereka juga) bukan malaikat.

Lalu kenapa saya menuliskan kembali?

Saya sempet sewot (lu kapan kagak sewot je?) gegara beberapa waktu lalu ada yang iseng membandingkan antara ibu menteri perikanan dan kelautan dengan seorang ibu yang terlibat kasus korupsi di sebuah provinsi. Satu tidak berjilbab, merokok, poliandri (kalau poliandri saya belum mencari kebenarannya), tapi pekerja keras. Satu lagi berjilbab, tidak poliandri, tidak merokok, tapi korupsi.

Pembandingan dua foto ini seolah ingin mengatakan, “Pilih mana?”. Terlepas dari siapa individunya (hanya lihat sikapnya)

Ada yang aneh disini, kenapa sih keburukan tampak begitu lezat untuk dihidangkan kalau dilakukan oleh muslimah dan berjilbab? Bagi saya pribadi, tidak soal itu dilakukan siapa. Korupsi, dilakukan oleh muslim atau bukan itu tetap kejahatan. Baik itu dilakukan oleh oknum yang pakai jilbab atau pakai sanggul itu tetap kejahatan. Nilainya tidak berubah. Ketika korupsi dilakukan oleh muslimah, bukan berarti nilai korupsinya jadi besar. Tidak juga kalau korupsi itu dilakukan oleh yang bukan muslimah atau muslimah tapi tidak berjilbab lantas korupsi itu jadi sepele. Tidak! Sekali lagi tidak! Nilainya tetap sama. Itu tetap sebuah kejahatan. Siapapun dan seperti apapun yang melakukan. Jadi jilbab bukan variable yang terlibat dalam bahasan ini.

Begitu juga tentang kebaikan. Kebaikan akan tetap menjadi kebaikan, siapapun yang melakukannya. Mau itu pakai jilbab mau tidak. Memangnya yang boleh berbuat baik hanya yang pakai jilbab saja? Tidak kan? Siapapun wajib berbuat baik. Tanpa kompromi.  Nilai kebaikan itu pun sama, antara yang pakai jilbab dan tidak.

Karena antara jilbab dan perbuatan itu dua hal yang terpisah.

Perlu diulang?

Antara jilbab dan perbuatan itu dua hal yang terpisah.

Cukup jelas? 

Seorang perempuan dengan jilbabnya dia mendapat satu kebaikan karena dia melakukan kewajibannya. Lalu ketika dia melakukan kebaikan yang lain itu menambah tabungan kebaikannya. Tabungan kebaikan ini (yang berasal dari berbuat baik) maknanya sama apabila kebaikan itu dilakukan oleh yang tidak berjilbab.  Begitu juga keburukan. Nilai sebuah keburukan tidak menjadi bertambah ketika yang melakukan adalah wanita yang berjilbab. Berlaku juga sebaliknya, nilai keburukan tidak akan berkurang kalau yang melakukannya tidak berjilbab.

Hanya saja, bagi muslim ada satu yang perlu kita cermati lagi, bahwa kita ada bukan atas nama individu diri kita masing-masing. Melainkan atas nama komunitas (catatan tentang ini sedang coba saya tulis, semoga bisa segera selesai).

_Senorita_
2306-06112014

Tulisan ini ditulis dengan diiringi petikan gitar seseorang. Seseorang yang biasa saja dan bukan siapa-siapa. à sekali-sekali gawe sensasi.

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment