Rabu, Desember 07, 2016

Aku, Baper, dan Indonesia

Eh baper itu sudah masuk ke KBBI belum ya? Baper adalah akronim dari bawa perasaan. Istilah gaul anak masa kini. Konotasinya lebih ke saudaranya galau. Semacam sensitif yang berlebihan.

Tadi pagi sempet buang ‘sampah’ ke orang-orang terdekat. Tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini. Kenapa ya kita jadi baperan begini. Menulis ini saya pikir berkali-kali. Takut menyakiti hati. Sungguh. Saya malah khawatir saya begitu liberal, kenapa sering kali ada yang menggelitik dan berbeda dari yang lainnya. Saya bukan ustadzah, bahkan masih perlu dipertanyakan apa saya benar-benar sholihah.
Credit here

Kemarin kita dikejutkan, eh pada terkejut kan? Atas pernyataan sikap sebuah PT atas  yang terjadi dalam perusahaannya. Sampai titik ini saya berbicara pada diri sendiri, apa yang salah? Saya dan teman-teman saya yang nyaris mewek karena melihat aksi 212 lewat streaming ini pun sempat berpikir bahwa yang memberikan kebijakan ‘gratis’ itu adalah managemen pusat dari produk tersebut. Dan baru berpikir setelah ada banyak cerita inspirasi, para dermawan yang memborong banyak dagangan di sekitar lapangan silang monas untuk dibagikan gratis kepada rekan-rekannya. Artinya, masyarakat itu –atau hanya saya?-enggak semuanya secerdas para pelaku bisnis yang paham bahwa mustahil PT tersebut sedermawan itu. Bisa jadi banyak yang berprasangka baik bahwa pemilik perusahaan tersebut seorang muslim nan baik hati lagi mulia. Bukankah kemarin-kemarin si pemborong juga tidak bilang-bilang kalau dia yang membelikan untuk semuanya? Dan ini mungkin bagi perusahaan tersebut dianggap ‘fitnah’. Sebab itu mereka merasa perlu untuk bilang ada dimana sebenarnya mereka.

Meskipun sebenarnya langkah menunjukkan dimana mereka berada ini justru menjadi bumerang. Dengar-dengar pagi ini sudah terjadi penurunan saham sekian persen. Kasihan. Mari segera siapkan lowongan pekerjaan bagi para penjaja keliling yang bisa jadi dirumahkan kalau sampai colaps ini perusahaan. Padahal kalau diam saja, bisa jadi hal baik untuk mereka. Ah, belum tentu juga sih, Allah yang lebih tahu apa yang terbaik.

Jadi, boikot enggak nih?
Itu sikap.  Itu hak. Sama seperti hak-nya perusahaan tersebut untuk klarifikasi. Kalau mulai sekarang ingin menghindari produk tersebut ya silakan.  Pun kalau masih mau konsumsi, ya sekali lagi itu hak perseorangan. Selama itu enggak ikut-ikutan, silakan lakukan. Meskipun begitu, kayaknya lebih asyik kalau apapun yang kita lakukan enggak pakai nyinyir dan menjelek-jelekkan. Tiap kita bebas untuk menentukan bagaimana sikap kita bukan? Termasuk perusahaan tersebut. Kalau pun ingin memberikan masukkan dan croscek, lebih asyik kalau datangi langsung ke managemen pusatnya. Kan? Kan? Kan?

Satu yang perlu digarisbawahi adalah, produk tersebut tetap halal secara zatnya. Bahkan sudah berlabel halal MUI. Mari kita adil dalam menilai dan meneliti. Saya sendiri tanpa seruan ini, sudah lama mengurangi -meninggalkan- produk-produk biskuit dan roti. Seumur-umur belum pernah beli produk dengan merk yang katanya menyakiti hati ummat ini. Gluten, gandum serta produk turunannya sebisa mungkin dihilangkan dari menu hidangan sehari-hari. Kecuali lagi pingiiinn banget. Kadang-kadang gorengan pinggir jalan dengan balutan tepung itu enak juga Jendral. Haha!  Alasannya simple, Indonesiaku, Indonesiamu juga, punyanya ketela dan sejenisnya. Telo! Ah, I love you Indonesia. Ini sikap juga.

Gandum tidak tumbuh dari lahan petani kita. Harus diimpor dari Negara tetangga.  Bukan mengharamkan lho ya. Selain itu, demi ketahanan ekonomi dalam ‘negeri’. Produk pangan lokal itu lebih murah meriah dan sehat saudara. Haha. Enggak percaya? Bagi kamu yang tinggal di Jogja, cobalah pagi-pagi jalan ke Pasar Kota Gede. Disana ada sekitar dua atau tiga ibu penjual getuk yang rasanya duh, uenaakk Bu. Dua ribu cukup untuk ganjal perut biar enggak gampang menggerutu.

Dari Roti Hingga Fotonya Jokowi, Kenapa Kita Begitu Baper Sekali? 
Beberapa waktu lalu sempat viral foto Pak Presiden berserta jajarannya serta Panglima TNI berjalan menuju istana usai turun dari panggung 212. Sungguh saya respect dengan hadirnya beliau di forum terbesar sepanjang sejarah ini. Ya meskipun banyak yang bilang blunder, lebih-lebih saat para pendukung beliau iseng bikin aksi tandingan. Tapi bukankah ini kemajuan, terlepas apakah ini manuver politik atau apalah. Iya kan?

Dalam foto itu terlihat bapak Negara kita berpayung biru dan mengikuti dibelakangnya panglima TNI berpeci putih tanpa mengenakan payung. Saya yang awalnya biasa saja melihat ini, jadi mengangkat alis kita bermunculan meme di sosial media. Pertanyaan saya adalah, apa sih salahnya pakai payung? Lha wong peserta aksi juga banyak yang pakai jas hujan. Kalau pun niatnya adalah untuk memberikan penghormatan kepada Sang Panglima, bisa gunakan foto beliau sendirian yang sedang hujan-hujanan. Foto bersama, hanya membuat orang-orang disekitar kita, menilai dengan cara membandingkan. Itu sama-sama pemimpin kita lho, Bray.  Beda tugas aja.

Tentang meme-meme itu. Mungkin tujuannya untuk apresiasi Sang Panglima, penyebar pun inginnya orang yang melihat fokus dengan satu figur berpeci putih saja, tapi otak orang mana tahu arahnya.  Gambar bisa berbicara apa saja. Kalau pernah membaca tentang framing media, meme yang seperti ini termasuk framing juga. Tidak semua pembaca bisa mengelola prasangka, termasuk saya. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dipikirkan orang lain, tapi kita ikut dimintai pertanggungjawaban kalau apa yang dia pikirkan berawal dari apa yang kita sebarkan. Rugi bandar Om! Apa iya kita perlu bikin film, ‘Jempol Pengundang Neraka’ atau ‘Jempol Durhaka’ ? Terus nanti adegannya ada kesembilan naga. Eaa…


Baper yang berlebihan hanya membuat kita mudah diombang-ambingkan. Gampang menyebarkan apa yang menurut kita benar dan membenarkan apa yang kita pikirkan. Beda lho antara kebenaran dan pembenaran. Meskipun itu terdengar senada. Eh, sedikit kritis dan bisa menahan komentar itu juga bisa bikin bahagia :p. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment